Pengertian, Asas-asas, dan Kompetensi PTUN
A.
Pengertian Hukum Acara PTUN
Menurut Rozali Abdullah, Hukum Acara PTUN adalah rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orrang harus bertindak, satu
sama lain untuk melaksanakan berjalanya peraturan Hukum Tata Usaha Negara
(Hukum Administrasi Negara). Dengan kata lain hukum yang mengatur tentang
cara-cara bersengketa di peradilan Tata Usaha Negara serta mengatur hak dan
kewajiban pihak-pihak yang terikat dalam proses penyelesaian sengketa tersebut.
Pada Umumnya secara teoritis cara pengaturan terhadap hukum formal
dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu :
1.
Ketentuan
prosedur berperkara diatur bersama-sama dengan hukum materilnya atau dengan
susunan, kompetensi dari badan-badan yang melakukan peradilan dalam potensi
dari badan yang melakukan peradilan dalam bentuk undang-undang atau peraturan
lainya.
2.
Ketentuan
prosedur berperkara diatur tersendiri masing-masing dalam bentuk undang-undang
atau bentuk peraturan lainya.
B.
ASAS-ASAS
HUKUM ACARA PTUN
Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa Asas hukum merupakan jantungnya
peraturan hukum, dikarenakan merupakan
landasan yang paling luasbagi lahirnya suatu peraturan hukum, bahwa
peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas
tersebut, asas hukum ini layak disebut
sebagai alasan lahirnya peraturan hukum, kemudian Satjipto Rahardjo
menambahakan bahwa dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan sekedar kumpulan
peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan
oleh karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis.
Adapun menurut Scholten memberikan definisi asas hukum adalah
pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum
masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan hakim, yang berkenan dengannya
ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sabagai
penjabaranya.
Asas hukum yang terdapa di dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara :
1.
Asas
praduga rechtmatig. Asas ini menyatakan setiap tindakan pemerintahan selalu
dianggap rechtmatig samapai ada pembatalan (pasal 67ayat (1) UU PTUN).
2.
Asas
gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha
Negara (KTUN) yang disengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari
penggugat (pasal 67 ayat 1 dan ayat 4 huruf a).
3.
Asas
para pihak harus didengar. Maksudnya para pihak mempunyai kedudukan yang sama
dan harus diperlakukan dan di perhatikan secara adil. Hakim tidak dibenarkan hanya
memperhatikan alat bukti, keterangan atau penjelasan salah satu pihak saja.
4.
Asas
kesatuan beracara dalam perkara sejenis. Maksudnya baik pemeriksaan di judex
feeti maupun di Mahkamah Agung.
5.
Asas
penyelengaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Maksudnya bebas dari campur
tangan pihak lain baik secara langsung maupun tidak bermaksud untuk
mempengaruhi keputusan pengadilan.
6.
Asas
peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Maksudnya sederhana
dalam hukum acara, waktu yang relatif cepat dalam waktu dan murah dalam biaya
ringan.
7.
Asas
hakim aktif.maksudnya ada rapat permusyawarahan untuk menentukan gugatan dapat
diterima atau tidak yg disertai pertimbangan-pertimbangan, pemeriksaan
persiapan untuk memeriksa kejelasan gugatan, hakim dapat memeritahkan tergugat
memberikan info-info yang dibutuhkan penggugat.
8.
Asas
sidang terbuka untuk umum. Maksudnya asas ini membawa konsekuensi bahwa semua
putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan
dalam siding terbuka untuk umum.
9.
Asas
peradilan berjenjang. Maksudnya Jenjang peradilan dimulai dari tingkat yang
terbawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), kemudian Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara (PTTUN), dan puncaknya adalah Mahkamah Agung (MA). Dengan
dianutnya Asas ini, maka kesalahan dalam putusan yang lebih rendah dapat
dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi. Terhadap putusan yang belum
mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan upaya hukum banding kepada PTTUN
dan kasasi ke MA. Sedangkan keputusan yang mempunyai kekuatan Hukum tetap dapat
diajukan upaya permohonan peninjauan kembali kepada MA.
10.
Asas
pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan (ultimum
remedium). Maksudnya Sengketa administrasi sedapat mungkin diupayakan dulu
penyelesaiannya melalui musyawarah mufakat (upaya administratif), apabila
musyawarah tidak mencapai mufakat, maka barulah penyelesaian melalui PTUN
dilakukan.
11.
Asas
Obyektifitas. Maksudnya hakim atau panitera, apabila terikat hubungan sedarah, semenda sampai derajat ketiga atau hubungan
suami istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat,
penasihat hukum atau antara hakim dengan panitera atau hakim dan panitera
tersebut mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan sengketanya.
C.
KOMPETENSI
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingkatan pengadilan yang ada
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan jenisnya lingkungan pengadilan dibedakan atas
pengadilan umum, pengadilan militer, pengadilan agama, pengadilan tata usaha
Negara (pengadilan administras), sedangkan berdasarkan tingkatanya pengadilan
terdiri atas pengadilan tingkat pertama,pengadilan tinggi (pengadilan tingkat banding),
mahkamah agung (pengadilan tingkat kasasi).
Dilihat dari pokok sengketanya, apabila pokok sengketanya terletak
di dalam lapangan hukum privat, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah
hakim biasa (hakim pengadilan umum). Apabila pokok sengketanya terletak dalam
lapangan hukum publik, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah administrasi
Negara yang berkuasa (hakim PTUN)
Pembagian kompetensi atas atribusi dan delegasi dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1.
Atribusi,
yang berkaitan dengan pemberian wewenang yang bersifat bulat (absolut) mengenai
materinya, yang dapat dibedakan:
·
secara
horizontal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis
pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang mempunyai kedudukan
sederajat / setingkat, Contoh : Pengadilan Administrasi terhadap pengadilan
Negri (umum), Pengadilan agama atau pengadilan militer.
·
Secara
vertical, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis
pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang secara berjenjang atau
hirarkis mempunyai kedudukan lebih tinggi. Contoh : Pengadilan negri (umum)
terhadap pengadilan Tinggi di Mahkamah Agung.
2.
Distribusi,
yang berkaitan dengan pembagian wewenang, yang bersifat terinci (relatif) di
antara badan-badan yang sejenis mengenai wilayah hukum. Contoh : antara
Pengadilan Negri Bandung dengan Pengadilan Negri antara lain di Garut, Tasikmalaya,
Ciamis.
Pembagian yang lain adalah pembagian atas kompetensi absolut dan
kompetensi relatif. Kompetensi absolut adalah menyangkut kewenagan badan
peradilan apa untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Kompetensi
absolut dari peradilan umum adalah memeriksa, mengadili, memutuskan, perkara
pidana yang dilakukan oleh orang-orang sipil dan perkara perdata, kecuali suatu
peraturan perundang-undangan menentukan lain.
Adapun kompetensi relatif adalah kewenagan dari pengadilan sejenis
yang mana yang berwenang untuk memeriksa,mengadili, dan memutus suatu perkara
yang bersangkutan. Dalam kaitanya di dalam peradialan tata usaha Negara,
maka kempetensi relatifnya adalah
menyangkut kewenagan pengadilan tata usaha mengadili, dan memutus perkara tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka di atas pasal 54 UU PTUN menyebutkan
gugatan dapat diajukan kepada PTUN tempat kedudukan (domisisli) tergugat.
Apabila tergugatnya lebih dari satu, maka gugatan dapat diajukan kepada PTUN
dari tempat kedududkan salah satu tergugat. Gugatan dapat juga diajukan melalui
PTUN tempat kedudukan penggugat untuk di teruskan kepada PTUN tempat kedudukan
(domosili) dari tergugat. Apabila penggugat dan tergugat berdomisisli di luar
negri, sedangkan apabila tergugat berkedudukan di dalam negri, sedangkan
penggugat berkedudukan di luar negri, maka gugatan dapat diajukan kepada PTUN
tempat kedudukan tergugat.
Pengadilan harus menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa,
mengadili, dan memutuskan perkara tersebut, apabila bukan menjadi kompetensinya
baik secara absolute maupun secara relatif. Kesalahan dalam mengajukan gugatan
akan sangat merugikan penggugat tidak hanya dari segi waktu, dan biaya, tetapi
jauh lebih penting adalah dapat berakibat gugatan menjadi daluarsa. Sebagaimana
diketahui tenggang waktu mengajukan gugatan berdasarkan Pasal 44 UU PTUN hanya
dalam tenggang waktu 90 hari sejak saat diterimanya atau di umumkannya
keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara.
Berkaitan dengan kompetensi PTUN tersebut diatas, dalam pasal 77 UU
PTUN disebutkan :
1.
Eksepsi
tentang kewenagan absolut pengadilan dapat diajuakan setiap waktu selama
pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut
pengadilan apabila hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatanya wajib menyatakan
bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan.
2.
Eksepsi
tentang kewenagan relatif pengadilan diajukan sebelum disampaikan jawaban atas
pokok sengketa dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa
diperiksa.
3.
Eksepsi
lain yang tidak mengenai kewenagan pengadilan yang dapat diputus bersama dengan
pokok sengketa.
Dengan demikian, eksepsi terhadap kompetensi relatif dari PTUN,
harus disampaikan tergugat sebelum memberikan jawaban pokok sengketa, apabila
eksepsi itu disampaikan setelah memberikan jawaban atas pokok sengketa maka
eksepsi tersebut tidak lagi dapat diterima.
PERSAMAAN
DAN PERBEDAAN HUKUM ACARA PTUN DENGAN HUKUM ACARA PERDATA
Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antara hukum acara
peradilan tata usaha Negara dengan hukum acara perdata.
A.
Persamaan
antara Hukum Acara Pengadilan TUN dengan Hukum Acara Perdata.
1.
Pengajuan
gugatan
Pengajuan gugatan menurut hukum acara PTUN diatur dalam apasal 54
UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 118 HIR.
Hukum acara TUN maupun Hukum acara perdata sama-sama menganut asas
bahwa gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan atau tempat tinggal tergugat.
2.
Isi
Gugatan
Isi gugatan pada pokoknya harus memuat, pertama, identitas para
pihak (penggugat dan tergugat), kedua dalil-dalil konkrit tentang adanya
hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan atau
yang lebih dikenal dengan sebutan fundamentum petendi atau posita (atau dasar
tuntutan yag biasanya terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang menguraikan
tentang kejadian-kejadian atau
peristiwanya dan bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwanya dan
bagian yang menguraikan tentang hukumnya), ketiga, petitum atau tuntutan ialah
apa yang oleh penggugat diminta atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim.
3.
Pendaftaran
perkara
Gugatan diajukan ke pengadilan yang berwenang baik secara
kompetensi absolut maupun relatif. Dalam mengajukan gugatan, penggugat diwajibkan
membayar uang muka biaya perkara. Uang muka biaya perkara ini meliputi biaya
pemanggilan dan pemberitahuan kepada para pihak, biaya taksi, biaya
administrasi kepaniteraan, yang semuanya akan di perhitungkan kemudian setelah
perkara diputus.
Selain itu kepada penggugat yang tidak mampu membayar biaya
perkara, dibuka kemungkinan untuk mengajuakan permohonan berperkara tanpa
biaya. Permohonan tersebut diajukan bersamaan pada saat mengajukan gugatan yang
di sertai dengan surat keterngan tidak mampu dari kepala desa atau lurah
setempat.
4.
Penetapan
Hari Sidang
Setelah surat gugatan di daftarkan dalam buku daftar perkara dan
telah dianggap cukup lengkap, pengadilan menentukan hari dan jam siding di
pengadilan. Dalam menentukan hari sidang ini, hakim harus mempertimbangkan
jarak antara tempat tinggal para pihak yang berperkara dengan pengadilan tempat
persidangan.
5.
Pemanggilan
Para Pihak
Pemanggilan para pihak dilakukan setelah gugatan dianggap sempurna
dan sudah di catat.
Dalam hukum acara TUN, jangka waktu antara pemanggilan dan hari
sidang tidak boleh kurang dari 6 (enam) hari, kecuali dalam hal sengketa
tersebut harus di periksa dengan acara cepat.
6.
Pemberian
Kuasa
Apabila di kehendaki, para pihak dapat diwakili atau didampingi
oleh seorang kuasa atau beberapa orang kuasa. Pemberian kuasa ini dapat
dilakukan sebelum atau selama perkara diperiksa. Pemberian surat kuasa yang
dilakukan sebelum perkara diperiksa harus secara tertulis dengan membuat surat
kuasa khusus. Dengan pemberian suarat kuasa ini, si penerima kuasa bisa
melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan jalannya pemeriksaan perkara
untuk dan atas nama si pemberi kuasa. Sedangkan pemberian kuasa yang dilakukan
di persidangan bisa dilakukan secara lisan.
7.
Hakim
Majelis
Pemeriksaan perkara dalam hukum acara PTUN dan hukum acara perdata
dilakukan dengan hakim majelis (tiga orang hakim), yang terdiri atas satu orang
bertindak selaku hakim ketua dan dua orang lagi bertindak selaku hakim anggota.
Namun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan untuk menempuh prosedur pemeriksaan
dengan hakim tunggal (unus judex). Dalam hukum acara TUN hal ini dapat
dilakukan dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat (pasal 99 ayat 1).
8.
Persidangan
terbuka untuk umum
Dengan demikian setiap orang dapat untuk hadir dan mendengarkan
jalannya pemeriksaan perkara tersebut. Apabila putusan diucapkan dalam sidang
yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan
tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut
hukum.
9.
Mendengar
Kedua Belah Pihak
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang.
Dengan demikian ketentuan pasal ini mengandung asas kedua belah pihak haruslah
diperlakukan sama, tidak memihak, dan kedua belah pihak didengar dengan adil.
Hakim tidak diperkenankan hanya mendengarkan atau memperhatikan keterangan
salah satu pihak saja.
10.
Pencabutan
dan perubahan Guagatan.
Penggugat sewaktu-waktu dapat mencabut gugatannya, sebelum tergugat
memberikan jawaban. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan yang
diajukan, maka akan dikabulkan oleh hakim, apabila mendapat persetujuan
tergugat.
11.
Hak
Ingkar
Untuk menjaga obyektivitas dan keadilan dari putusan hakim, maka
hakim atau panitera wajib mengundurkan
diri, apabila diantara para hakim, antara
hakim dan panitera, antara hakim atau panitera dengan salah satu pihak yang
berperkara mempunyai hubungan sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau
hubungan suami isteri meskipun telah
bercerai, atau juga hakim atu panitera mempunyai kepentingan langsung atau
tidak langsung dengan sengketanya.
12.
Pengikut
sertaan pihak ketiga.
Pada dasarnya di dalam suatu sengketa sekurang-kurangnya terdapat
dua pihak yaitu penggugat sebagai pihak yang mengatakan gugatan dan pihak
tergugat sebagai pihak yang digugat oleh penggugat. Namun, ada kemungkinan
selama pemeriksaan perkara berjalan, baik atas prakarsa sendiri dengan
mengajukan permohonan maupun atas prakarsa hakim dapat masuk sebagai pihak
ketiga yang membela kepentingannya.
13.
Pembuktian
Beban pembuktian ada pada kedua belah pihak, hanya Karena yang
mengajukan gugatan adalah penggugat, maka penggugatlah yang mendapat kesempatan
pertama untuk membuktikanya. Sedangkan kewajiban tergugat untuk membuktikan
adalah dalam rangka membantah bukti yang diajukan oleh penggugat dengan
mengajukan bukti yang lebih kuat. Yang di buktikan pada dasarnya dalah
peristiwanya bukanhukumnya, karena hakim dianggap tahu tentang hukumnya.
14.
Pelaksanaan
Putusan Pengadilan.
Pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan setelah adanya putusan.
Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang pelaksanaanya
dilakukan atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat
pertama.
PERBEDAAN
ANTARA HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA DENGAN HUKUM ACARA PERDATA
1.
Obyek
Gugatan.
Obyek gugatan atau pangkal sengketa
TUN adalah KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang mengandung
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa, sedangkan hukum acara
perdata adalah perbuatan melawan hukum.
2.
Kedudukan
Para Pihak.
Dalam TUN menempatkan seseorang atau
badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat TUN sebagai
pihak tergugat. Di dalam hukum acara perdata adalah para pihak sesame individu,
sesama badan hukum perdata, atau antara individu dengan suatu badan hukum
perdata.
3.
Gugat
Rekonvensi.
Dalam hukum acara perdata dikenal
dengan istilah gugat rekonvensi (gugat balik) yaitu gugatan yang diajukan oleh
tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antara mereka.
Di dalam hukum acara PTUN tidak mungkin dikenal adanya gugat rekonvensi, karena
dalam gugat rekonvensi berarti kedudukan
para pihak semula menjadi balik. Kedudukan para pihak dalam hukum acara PTUN
tidak berubah-ubah. Penggugat tetap merupakan individu atau badan hukum
perdata, sedangkan tergugat tetap merupakan badan atau pejabat TUN. Dan yang
menjadi obyek gugatan dalam hukum acara PTUN juga tidak berubah,tetap KTUN,
tidak boleh yang lain.
4.
Tenggang
Waktu Pengajuan Gugatan.
Dalam hukum acara TUN pengajuan
gugatan dapat di lakukan hanya dalam tenggang waktu 90 (Sembilan puluh) hari,
yang dihitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan TUN. Apabila
gugatan tersebut diajukan setelah lewat 90 hari, maka pengadilan tidak akan
menerima gugatan.
Dalam hukum acara perdata, tenggang
waktu mengajukan gugatan, yang mengakibatkan gugatan daluwarsa tidak begitu tegas
dibanding dengan hukum acara PTUN. Dalam hukum acara perdata, memang dapat saja
terjadi gugatan dianggap daluwarsa, tetapi daluwarsa gugatan itu dikarenakan
kelalaian penggugat. Dalam acara perdata relative lebih lama dan setiap masalah
berbeda tenggang waktunya.
5.
Tuntutan
Dalam Gugatan.
Dalam hukum acara perdata tuntutan
pokok selalu disertai tuntutan pengganti. Fungsi tuntutan pengganti untuk
menggantikan tuntutan pokok,apabila tuntutan pokok di tolak oleh pengadilan.
Dalam hukum acara PTUN, hanya
dikenal satu macam tuntutan pokok yang berupa tuntutan agar KTUN yang di gugat
itu dinyatakan batal atau tidak sah atau tuntutan KTUN yang dimohonkan oleh
penggugat dikeluarkan oleh tergugat. Sedangkan tuntutan tambahan yang
diperbolehkan hanya berupa ganti kerugian (untuk bukan sengketa kepegawaian)
atau rehabilitasi dengan atau tanpa kompensasi (untuk sengketa kepegawaian).
6.
Rapat
Permusyawaratan
Adalah merupakan suatu prosedur
penyelesaian perkara yang disederhanakan, dan prosedur ini tidak dikenal dalam
hukum acara perdata. Prosedur ini pada dasarnya memberikan wewenang kepada
kepala ketua pengadilan sebelum pokok sengketanya diperiksa memutuskan dengan
suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan
yang diajukan oleh penggugat tidak diterima atau tidak berdasar.
7.
Pemeriksaan
Persiapan
Hukum PTUN mengenal pemeriksaan
persiapan, yang juga tidak dikenal dalam hukum acara perdata. Pemeriksaan
persiapan juga dilakukan oleh hakim sebelum pemerisaan pokok sengketa dimulai.
Dalam pemeriksaan itu hakim :
a.
Wajib
memberikan nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya
dengan data yang diperlukan dalam jangka
waktu 30 hati.
b.
Dapat
meminta penjelasan kepada badan atau pejabat TUN yang bersangkutan.
8.
Putusan
Verstek.
Adalah pernyataan bahwa tergugat
tidak datang pada hari sidang pertama. Putusan verstek di kenal dalm hukum
acara perdata dan boleh dijatuhkan pada hari sidang pertama, apabila tergugat
tidak datang setelah dipanggil dengan patut. Dan di dalam hukum acara PTUN
tidak dikenal dengan putusan verstek, karena badan atau pejabat TUN yang
digugat itu tidak mungkin tidak diketahui kedudukannya.
9.
Pemeriksaa
Acara Cepat.
Dalam hukum acara PTUN dikenal
dengan pemeriksaan acara cepat, dan pemeriksaan ini tidak dikenal dalam hukum
acara perdata.
Pemeriksaan dangan acara cepat dapat
dilakukan, apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak.
Penggugat dalam gugatanya dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan
sengketa di percepat.
Ketua pengadilan dalam jangka waktu
14 hari setelah menerima permohonan itu, maka harus mengeluarkan penetapan
tentang dikabulkan atau tidak dikabulkanya putusan itu. Terhadap tidak
dikabulkannya permohonan tersebut tidak dapat digunakan upaya hukum.
10.
Sistem
Hukum Pembuktian.
Dalam hukum acara perdata dilakukan
dalam rangka memperoleh kebenaran formal, sedangkan dalam hukum acara PTUN
dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran materiil.
11.
Juru
Sitra.
Pemanggilan para pihak atau wakilnya
untuk hadir pada sidang yang telah ditentukan dalam hukum acara perdata oleh
panitera atau jurusita, sedangkan dalam hukum acara PTUN berdasarkan pasal 65
UU PTUN dilakukan melalui surat tercatat.
12.
Sifat
Erga Omnesnya Putusan Pengadilan.
Dalam hukum acara PTUN, putusan
pengadilan yang telah berkukuatan hukum tetap mengandung sifat erga omne,
artinya berlaku untuk siapa saja dan tidak hanya terbatas berlakunya bagi
pihak-pihak yang berperkara, seperti halnya dalam hukum acara perdata. Dengan
kata lain putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap pada dasarnya
menupakan keputusan hukum yang bersifat hukum public. Siapapun harus terikat
denga putusan PTUN tersebut, baik pihak yang berperkara maupun di luar itu.
13.
Pelaksanaan
Serta Merta.
Berdasarkan ketentuan pasal 115 UU
PTUN disebutkan bahwa hanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum
tetap yang dapat dilaksanakan. Dengan demikian dalam hukum acara PTUN tidak
dikenal pelaksanaan serta merta sebagaimana yang dikenal dalam hukum acara
perdata. Dalam hukum acara PTUN, hanya putusan akhir yang telah berkekuatan
hukum tetap saja yang dapat dilaksanakan.
14.
Upaya
Pemaksa Agar Putusan Dilaksanakan.
Dalam hukum acara perdata, apabila
pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, maka
dikenal adanya upaya-upaya pemaksa agar putusan tersebut dilaksanakan. Tujuan
dari upaya pelaksanaan ini adalah untuk memenuhi putusan guna kepentingan pihak
yang di menangkan.
Sedangkan dalam hukum acara PTUN
tidak dikenal adanya upaya Pemaksa. Karena, hakikat dari putusan dalam hukum
acara PTUN adalah bukan menghukum sebagaimana dalam hukum acara perdata.
Hakikat keputusan dalam hukum acara PTUN adalah untuk membatalkan KTUN yang
telah dikeluarkan atau memerintahkan agar tergugat mengeluarkan KTUN yang di
mohonkan oleh penggugat.
15.
Kedudukan
Pengadilan Tinggi.
Dalam hukum acara perdata, kedudukan
pengadilan tinggi selalu sebagai pengadilan tingkat banding, sehingga setiap
perkara tidak dapat langsung diperiksa oleh pengadilan tinggi, tetapi harus
terlebih dahulu melalui pengadilan tingkat pertama (pengadilan negri).
Sedangkan di dalam hukum acara PTUN
kedudukan pengadilan tinggi dapat sebagai pengadilan tingkat pertama, dalam hal
sebagai berikut :
a.
Berkedudukan
sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam sengketa mengadili
kewenagan mengadili antara PTUN di dalam daerah hukumnya.
b.
Berkedudukan
sebagai pengadilan tingkat pertama dalam hal sengketa telah diselesaikan
terlebih dahulu melalui upaya administrasi yang tersedia.
16.
Hakim
Ad Hoc
Hakim Ad Hoc tidak dikenal dalam
hukum acara perdata, apabila diperlukan
keterangan ahli dalam bidang tertentu, hakim cukup mendengarkan
keterangan dari saksi ahli.
Dalam hukum acara PTUN, Hakim Ad Hoc
diatur dalam pasal 135 UU PTUN. Apabila memerlukan keahlian khusus, maka ketua
pengadilan dapat menunjuk seseorang hakim ad Hoc sebagai anggota majelis.
A.
Pangkal
Sengketa Tata Usaha Negara
Pangkal sengketa tata usaha Negara dapat diketahui dengan
menentukan apa yang menjadi tolak ukur sengketa tata usaha Negara. Tolak ukur
sengketa tata usaha Negara (administrasi) adalah tolak ukur subyek dan pangkal
sengketa. Tolak ukur subyek adalah (para) pihak yang bersengketa di bidang
hukum administrasi Negara (tata usaha negara). Sedangkan tolak ukur pangkal
sengketa, yaitu sengketa administrasi yang diakibatkan oleh ketetapan sebagai
hasil perbuatan administrasi Negara.
Sengketa administrasi dapat dibedakan atas sengketa intern dan
sengketa ekstern. Sengketa intern atau sengketa antara administrasi negara
terjadi di dalam lingkungan administrasi (TUN) itu sendiri, baik yang terjadi
dalam satu departemen (instansi) maupun sengketa yang terjadi antar departemen
(instansi). Oleh karena itu, sengketa intern adalah menyangkut persoalan
kewenangan pejabat TUN yang disengketakan dalam satu departemen (instansi) atau
kewenangan suatu departemen terhadap departemen lainnya, yang disebabkan
tumpang tindihnya kewenangan, sehingga menimbulkan kekaburan kewenangan.
Sengketa ini dapat juga disebut sebagai hukum antar wewenang.
Sengketa ekstern atau sengketa antara administrasi Negara dengan
rakyat adalah perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara
administrasi Negara dengan rakyat sebagai subyek-subyek yang berperkara
ditimbulkan oleh unsur dari unsure peradilan administrasi murni yang
mensyaratkan adanya minimal dua pihak dan sekurang-kurangnya salah satu pihak
harus administrasi negara, yang mencakup administrasi negara di tingkat pusat,
administrasi negara di tingkat daerah, maupun administrasi negara yang ada di
daerah.
Perbuatan administrasi Negara (TUN) dalam dikelompokkan ke dalam 3
(tiga) macam perbuatan, yakni; mengeluarkan keputusan, mengeluarkan peraturan
perundang-undangan, dan melakukan perbuatan materiil.
Dalam melakukan perbuatan tersebut tidak jarang terjadi
tindakan-tindakan yang menyimpang dan melawan hukum, sehingga dapat menimbulkan
berbagai kerugian bagi yang terkena tindakan tersebut.
Pertanyaan
tentang apakah UU PTUN menganut sengketa ekstern atau intern? Maka, jawabannya
bisa dilihat pada pasal 1 angka 4 UU PTUN sebagai berikut:
“sengketa
tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha Negara
antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha
Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
tata usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa tolak ukur subyek
sengketa tata usaha Negara adalah orang (individu) atau badan hukum perdata di
satu pihak dan badan atau pejabat tata usaha Negara di pihak lainnya.
Adapun pangkal sengketa TUN adalah akibat dikeluarkannya KTUN.
Berdasarkan pasal 1 angka 3 UU PTUN yang dimaksud dengan KTUN adalah “ suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara
yang berisi tindakan hukum tata usaha Negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Dari pengertian di atas dapat ditarik unsur-unsur KTUN adalah
sebagai berikut:
-
Suatu
penetapan tertulis
-
Dikeluarkan
oleh badan atau pejabat tata usaha Negara
-
Bersifat
konkrit
-
Individual,
dan
-
Final
-
Menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
B.
Kedudukan
Para Pihak dalam Sengketa Tata Usaha Negara
Dari ketentuan pasal 1 angka 4 UU PTUN dapat diketahui bahwa
kedudukan para pihak dalam sengketa tata usaha Negara adalah orang (individu)
atau badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat tata
usaha Negara sebagai pihak tergugat.
Tergugat adalah selalu badan atau jabatan TUN yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
kepadanya. Wewenang tersebut dapat diperoleh secara atributif, delegasi,
atau mandat.
Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang dirugikan
akibat dikeluarkannya KTUN. Penggugat pada dasarnya dapat digolongkan dalam
tiga kelompok:
-
Orang-orang
atau badan hukum perdata sebagai alamat yang dituju oleh suatu KTUN
-
Orang-orang
atau badan hukum perdata yang dapat disebut sebagai pihak ketiga yang
berkepentingan, seperti: individu-individu yang merupakan pihak ketiga yang
berkepentingan, dan organisasi-organisasi kemasyarakatan (pecinta lingkungan).
-
Badan
atau jabatan TUN yang lain, namun untuk hal ini UU PTUN tidak memberi hak
kepada mereka untuk menggugat.
C.
Jalur
Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Ada dua upaya jalur penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara, upaya
administrative dan upaya dari PTTUN. Sebagaimana ketentuan dari pasal 51 ayat 3
yang menyebutkan bahwa PTTUN bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan di tingkat pertama sengketa TUN sebagaimana dimaksud dalam pasal
48, apabila sengketa itu telah diputus dalam tingkat banding administrative,
sedangkan apabila upaya administrative yang tersedia hanya berupa keberatan,
maka gugatan KTUN yang diputus dalam tingkat upaya keberatan tersebut tidak
dapat diajukan langsung kepada PTTUN, tetapi kepada PTUN.
Perbedaan penting antara upaya administrative dan PTUN adalah bahwa
PTUN hanyalah memeriksa dan menilai dari segi hukumnya saja. Sedangkan
penilaian dari segi kebijaksanaan bukan menjadi wewenang PTUN.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang memuat upaya
administrative adalah UU 6/1983 untuk penyelesaian yang menyangkut wajib pajak,
PP 30/1980 untuk penyelesaian sengketa kepegawaian, Hinder Ordonansi (Ordonansi
Gangguan) untuk penyelesaian sengketa izin HO, P4D (Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Daerah ) dan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat) untuk penyelesaian perselisihan perburuhan.